Senin, 26 September 2011

Moral dan Peradaban Menurut Ibn Khaldun

Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadhrami atau yang lebih dikenal dengan Ibn Khaldun (1332-1406M) berpendapat bahwa peradaban adalah seperti makhluk hidup yang memiliki umur. Ia bermula dari fase kelahiran, remaja, menua lalu mati.

Peradaban berkembang seiring berkembangnya kerja-kerja pembangunan. Sementara musuh peradaban adalah gaya hidup boros dan bermewah-mewahan sehingga bisa menyeret pada fase keruntuhan. Firman Allah: Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). QS. Ali Imran: 140. (Dr. Yasir al-Masyhadani, www.fustat.com/I_hist/mashhadani1_6_09.shtml)

Menurut Ibn Khaldun peradaban adalah sebuah fase alami. Munculnya peradaban berarti menandai berakhirnya kehidupan baduwi. Akan tetapi saat kehidupan baduwi mencapai taraf kehidupan yang tinggi dan berkembang pesat dalam industrinya, maka secara perlahan akan menuju pada kehancuran. Karena sesungguhnya peradaban itu secara tersirat membawa benih-benih kerusakan. Negara semakin menua dan pada gilirannya akan runtuh. Masa tua bagi sebuah negara menurut Ibn Khaldun adalah sebuah daur kehidupan yang alami. Ia merupakan penyakit kronis yang tidak mungkin diobati.



Fase perkembangan negara dan bangsa

Negara sebagai institusi politik yang membentuk sebuah peradaban, sebenarnya mempunyai lima periode yang dilaluinya: a) periode perebutan kekuasaan dan kemenangan. b) periode tirani dan penindasan. c) periode vakum dan rileks yang waktunya nyaris digunakan untuk menikmati hasil kekuasaan dan bersenang-senang dengan kemewahan dunia. d) periode berpuas hati dengan apa yang dicapai oleh generasi pendahulunya. e) periode pemborosan dan tabzir. Bisa dikatakan, pada periode ini, tanpa sadar, penguasa telah menghancurkan apa yang telah dibangun para pendahulunya. Dan dalam lima periode yang dilalui sebuah negara tersebut, terdapat tiga jenis generasi; generasi badui, generasi madani dan generasi yang bermewah-mewahan.

Sebuah negara dibentuk untuk mencapai taraf kenyamanan dan kemewahan. Pada awalnya kenyamanan dan kemewahan ini akan menjadikan negara lebih kuat dan menjadi kebanggaan setiap masyarakat madani. Tapi di sisi lain, ia juga menjadi alasan tersungkurnya sebuah peradaban, apalagi jika tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral.

Dalam kitabnya ”al-Muqaddimah”, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa jatuhnya sebuah negara utamanya disebabkan oleh tirani dan kezaliman penguasa. Menurutnya, perbuatan fasik (maksiat besar) yang dilakukan oleh individu masyarakat tidak akan langsung menyebabkan hancurnya peradaban, jika dibandingkan dengan perbuatan tirani yang dilakukan penguasa. Memang adakalanya perbuatan maksiat besar bisa menyebabkan runtuhnya peradaban jika pelakunya adalah penguasa negara yang tidak terjamah hukum.

Seorang penasehat raja pernah berkata: ”Wahai sang raja, sesungguhnya tidak ada kekuatan bagi sebuah negara kecuali jika ditopang dengan undang-undang (syariah) dan para penegaknya. Para penegak hukum tidak bisa kuat kecuali ditopang dengan pendapatan yang cukup. Pendapatan para penegak hukum tidak akan tersedia kecuali dengan adanya pembangunan. Dan pembangunan tidak akan terselenggara dengan baik kecuali dengan pemerintahan yang adil.

Kezaliman penguasa menjadi penyebab utama hancurnya sebuah negara. Dalam kitab ”Tahzib Madarij al-Salikin” dijelaskan, kezaliman itu adalah meletakkan sesuatu secara tidak proporsional. Misalnya, marah pada sesuatu yang seharusnya direlakan dan merelakan sesuatu yang semestinya harus marah; bersabar dalam kebodohan; bakhil di saat lapang dan memberi dalam kondisi yang mengharuskan bakhil; takut dalam kondisi berani dan berani di saat mengharuskan takut; bersikap lembut dalam kondisi yang semestinya tegas dan bersikap keras padahal semestinya lembut; merendah (tawadhu’) dalam kondisi yang mengharuskan memperlihatkan harga diri (‘izzah) dan takabur di saat yang seharusnya merendah.

Dalam artikelnya, ”al-Hadharah ’inda Ibn Khaldun”, Muhammad Bunwar menjelaskan bahwa tinggi rendahnya peradaban itu bergantung dengan sedikit banyaknya pembangunan. Sementara kehancuran sebuah bangsa bergantung pada ragam kejahatan yang dilakukannya, seperti kefasikan dan kecurangan dalam mencari mata pencaharian. Jika adab bermuamalah telah menghilang pada suatu bangsa, maka setiap individu akan sibuk membuat makar untuk memperdayai saudaranya. Hingga akhirnya meratalah kebohongan, keculasan dan riba dalam aktivitas perniagaan. Bahkan interaksi terhadap sanak kerabat pun tidak lagi didasari dengan adab dan kasih sayang. Maka, akan didapati masing-masing mereka sangat ahli dalam tipu daya dan menjadi sebuah tradisi yang hidup dalam masyarakat. Demikianlah akhirnya negara pun dipenuhi dengan orang-orang yang bersifat buruk dan mengabaikan moralitas.

Ibn Khaldun berpendapat bahwa di antara yang merusak sebuah peradaban adalah tenggelamnya masyarakat dalam kemewahan dan memperturutkan hawa nafsunya. Sehingga masing-masing individu sangat variatif dalam memenuhi kebutuhan nafsu perutnya dan menyebabkan mereka terjerumus dalam kehancuran. Inilah yang dimaksud Ibn Khaldun dalam kitabnya “al-Muqaddimah” bahwa peradaban adalah tujuan pembangunan dan sekaligus merupakan penyebab kehancurannya.

Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa tujuan pembangunan adalah terbentuknya peradaban dan kemegahan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka secara perlahan akan berbalik menuju kehancuran dan mulai memasuki usia senja, seperti layaknya terjadi pada daur kehidupan.

Lebih lanjut, Ibn Khaldun berpendapat, moralitas yang dihasilkan oleh peradaban dan kemegahan adalah sebuah kerusakan. Maka apabila manusia telah rusak moral dan agamanya, maka rusak pulalah kemanusiaannya dan jati dirinya. Sebab manusia dianggap sebagai manusia karena bergantung pada sejauh manakah dia mampu mengambil manfaat dan menghindari bahaya secara konsisten. Namun karena keterbatasannya, manusia tidak mampu menjaga sikap konsistennya. Baik disebabkan oleh ketidakberdayaannya mensyukuri kesejahteraan, maupun karena merasa ujub dengan kemegahan yang diperolehnya. Demikianlah, akhirnya kesejahteraan dan kemegahan bisa melenyapkan nilai-nilai moralitas, sehingga manusia benar-benar dihadapkan pada ketidakmampuan untuk mempertahankan dirinya di hadapan tradisi yang rusak.


Bangsa yang dihancurkan peradabannya

Jejak peradaban yang merusak pembangunan dapat dilihat jelas dengan adanya pola hidup yang boros, bermegah-megahan dan mengingkari perintah Allah. Maka pembangunan tanpa dilandasi ketaatan dan tauhid akan bermuara pada kerusakan dan kebinasaan, seperti yang terjadi pada penduduk Madyan (kaum Nabi Syu’aib), kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Shaleh dan kaum Nabi Luth.

Allah berfirman: ”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (QS. Al-Isra: 16).

Sayyid Tantawi dalam tafsirnya ”al-Wasith” menjelaskan kehancuran yang ditimpakan terhadap suatu negeri, tidak sebatas menimpa penduduknya saja, tetapi mencakup tempat tinggal, harta benda dan semua yang berada di dalamnya. Dan di antara hikmah dikhususkannya penyebutan mutrafiha (orang-orang yang hidup mewah) dalam ayat ini, padahal perintah untuk taat kepada Allah mencakup semua orang, karena orang-orang yang hidup mewah tersebut adalah para pemimpin dan pemuka masyarakat. Maka ketika mereka tidak mentaati perintah, otomatis masyarakat awam pun akan mengikuti para pemimpinnya. Biasanya, orang-orang yang bergelimang kemewahan lebih sering meninggalkan perintah Allah dan tenggelam dalam kesenangan nafsunya.

Allah telah menegaskan bahwasanya perubahan menuju kondisi yang lebih baik tidak akan pernah tercapai, jikalau para penguasa belum menegakkan keadilan kepada rakyat. Sebab Allah tidak akan mencabut kebaikan dan nikmat yang ada pada suatu bangsa, kecuali mereka sendiri yang menghancurkan kebaikan dan nikmat yang ada pada mereka. Segala bentuk kemaksiatan dan ketidaktaatan pada perintah Allah dapat merubah kondisi bangsa yang baik dan makmur, sebagaimana dijelaskan Imam Zamakhsyari dalam tafsir ”al-Kasysyaf”.



Peradaban yang berkesinambungan

Kerja-kerja pembangunan (’umran) yang mengokohkan peradaban suatu bangsa hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Ia tidak boleh dititikberatkan pada pembangunan empirik semata yang hanya mengacu pada tujuan-tujuan hedonis. Pembangunan yang berkesinambungan seharusnya tidak meninggalkan aspek-aspek spiritual bangsa. Sebab secara kebahasaan, kata ’umran yang melandasi makna kerja-kerja pembangunan mencakup makna umur dan kemakmuran sebagai objek tujuannya. Artinya setiap jiwa yang diberi umur harus membangun. Sebab kerja-kerja pembangunan adalah ibadah yang wajib dilakukan manusia selaku khalifah di muka bumi demi tercapainya kemakmuran dunia akherat.

Khilafah yang diamanahkan kepada manusia adalah mandat untuk memakmurkan alam sekitar. Namun tugas khilafah ini juga diikat dengan kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Sehingga kerja-kerja pembangunan seharusnya tidak mengesampingkan konsep-konsep penciptaan, din, ilmu, manusia, alam dan lain-lain. Kemajuan sains dan teknologi tanpa didasari pemenuhan aspek-aspek ubudiyah hanya akan menghasilkan pembangunan yang timpang, menghambur-hamburkan potensi akal dan kurang membawa maslahat. Penemuan alat P-MATE yang bertujuan membantu perempuan untuk bisa kencing berdiri seperti laki-laki misalnya, merupakan contoh kejahilan kreatif yang kosong dari nilai-nilai adab dan maslahat. Demikian halnya dengan penemuan senjata pemusnah masal dan lain sebagainya.

Produk-produk hukum dan sistem nilai yang hanya mementingkan kesenangan sesaat hanya meniscayakan timbulnya masalah-masalah kemanusiaan yang kronis dan membuka pintu kehancuran. Dengan demikian sebenarnya Islam telah menyeru manusia untuk membangun sebuah peradaban yang benar-benar beradab, baik kepada Tuhannya, sesamanya maupun alam persekitaran. Hal ini dapat dilihat jelas melalui konsep madinah, di mana berkumpulnya sebuah komunitas yang bersama-sama membangun peradaban (tamaddun) yang didasari ruh agama (din). Wallah a’lam bil-shawab. (***)

By; Henri Salahuddin_INSIST

Akhlaq

It’sbetter to be moralist rather than religious”. (Lebih baik moralis daripada religious). Ini adalah “curhat” dari mereka yang benci agama. Di Barat berbuat baik karena agama bisa dicurigai. Sebab selama puluhan tahun masyarakat Barat menyaksikan konflik horizontal gara-gara agama. Agama lalu dituding menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Celakanya, agama lainpun, termasuk Islam dianggap sama.

Karena kebaikan tidak lagi bersumber dari agama, maka kebaikan non-religius menjadi menonjol. Dan kini kita tidak sadar, istilah-istilah keagamaan berikut konsep dasarnya digeser. Salah satunya adalah makna akhlaq. Yang sekuler berupaya mensekulerkan maknanya. Maka ber-akhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu ber-akhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia”. Disini akhlaq karena bersumber dari agama diganti dengan moral, atau bahkan akan dihapuskan sama sekali. Bisakah akhlaq disamakan atau diganti dengan moral? Kita lihat berikut ini.

Akhlaq adalah kata jama’ dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.


Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua.Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya. Hadith Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Qur’an. Ibn Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah. Dengan al-Qur’an fitrah manusia akan berkembang sempurna.

Fitrahmanusia yang berkembang mengikuti al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah maka pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Nafasnya adalah zikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana. Itulah makna kesimpulan Aisyah bahwa akhlaq Nabi adalah al-Qur’an (khuluquhu al-Qur’an). Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al-Qur’an.

Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi akhlaq, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al-Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Di dalamnya terdapat 32 fasal tentang akhlaq dan penyembuhan penyakitnya. Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua yang adalah mereka yang beroritentasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).

Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlaq. Makna akhlaq dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb dan cara kerjanya.
Berbeda dari akhlaq, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral.

Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “ethos”. Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi danreligius.

Orang ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dsb. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak ber-akhlaq jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dsb. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha narkoba atau prostitusi, atau rentenir ia tidak ber-akhlaq.

Kini akhlaq juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Karakter diartikan sebgai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi karakter juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber “peran” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.

Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Dimasa lalu, misalnya, terdapat seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapapun menentangnya akan dicemooh. Ia berkarakter tapi tidak ber-akhlaq. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti ber-akhlaq.

Tapijika makna ber-akhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Ber-akhlaq yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunnah. Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antar manusia (mu’amalah ma’annas). Ibadahnya sempurna,
pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayatNya. Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang dibawahnya. Inilah makna ber-akhlaq yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal tahta, harta dan wanita.

Sebaliknya, bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia. akibatnya, meniru akhlaq Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata. Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti HAM. Berdakwahtidak boleh menggurui dan sebagainya.

Begitulah, karena sekularisme, liberalism dan humanism maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi ber-akhlaq. Padahal Francis Fukyama mengingatkan bahwa ketahanan suatu bangsa tergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya. Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlaq. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “bangsa-bangsa akan kekal jika masih ber-akhlaq. Jika hilang akhlaq-nya maka hilang pula bangsa itu.

Al-Qur’an lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertaqwa maka akan diturunkan berkah dari langit, dan jika tidak lagi ber-akhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah. Jadi jika pemimpin bangsa ini beserta anak mudanya, anggota DPR-nya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya telah kehilangan moral dan bahkan akhlaq mereka, sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan Allah. Wallalu a’lam.

By; Hamid Fahmy Zarkasy_INSIST