Senin, 24 Januari 2011

Wawasan Al-Qur'an

ILMU DAN TEKNOLOGI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan
sebagai "kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu
eksakta dan berdasarkan proses teknis." Teknologi adalah ilmu
tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi
kesejahteraan dan kenyamanan manusia.

Kalau demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan
manusia bukanlah teknologi, walaupun secara umum alat-alat
tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah
dipergunakan oleh manusia sejak berabad yang lalu, namun abad
tersebut belum dinamakan era teknologi.

Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang
kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara
tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar
750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan
fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui
dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang
Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan
Allah untuk manusia.

Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah)
dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Penundukan tersebut --secara potensial-- terlaksana melalui
hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah dan kemampuan yang
dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskan
sebagian dari ciri tersebut, antara lain:

(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan
hukum-hukumnya.

Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS
Al-Ra'd [13]: 8)

Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga
rumput yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah
ditetapkan oleh Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya.
Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sin
ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3

(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:

Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di 1angit
dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra'd
[13]: 15).

(c) Benda-benda alam --apalagi yang tidak bernyawa-- tidak
diberi kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya tunduk kepada
Allah melalui hukum-hukum-Nya.

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan
langit yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia
(Allah) berkata kepada-Nya, "Datanglah (Tunduklah)
kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku
suka atau tidak suka!" Mereka berdua berkata, "Kami
datang dengan suka hati" (QS Fushshilat: ll).

Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri
dan hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya, sebagaõmana
diinformasikan oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 31,

Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya

Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri,
dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui
rahasia alam raya.

Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan
Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap
perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat
memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya,
semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan
alam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfatkan
alam itu merupakan buah teknologi.

Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab.
Ciri mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-'Imran (3)
190-191:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang
berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk
atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang
kejadian langit dan bumi ...

Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab,
yaitu tafakkur dan dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan
natijah yang diuraikan pada ayat 195:

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka
dengan berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik
lelaki maupun perempuan ..."

Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak,
melainkan melampauinya sampai kepada pengamalan dan
pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah
mengomentari ayat Ali 'Imran tadi sebagai berikut:

[tulisan Arab]

Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode
yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap
alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi
pertama di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari
ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya ini. Ayat-ayat
tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan ama1

Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa "Khalq As-samawat wal Ardh"
di samping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan
bumi, juga bermakna "memikirkan tentang sistem tata kerja alam
semesta". Karena kata khalq selain berarti "penciptaan", juga
berarti "pengaturan dan pengukuran yang cermat". Pengetahuan
tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada
rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada
penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat
bagi umat manusia.

Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu
yang dianjurkan oleh Al-Quran?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu
diperhatikan.

Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan
fenomenanya, terlihat secara jelas bahwa pembicaraannya selalu
dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt.

Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam:

Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang
padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapa mereka tidak juga beriman? (QS Al-Anbiya'
[21]: 30).

Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai
isyarat tentang teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawali
terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbeda
pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses
terjadinya pemisahan langit dan bumi. Yang pasti, ketika
Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengan
kekuasaan dan kebesaran Allah; serta keharusan beriman
pada-Nya.

Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari
posisinya, sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwan
informasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah Swt.: ~

Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di
tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan.
Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh
tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan (QS Al-Naml [27]: 88).

Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu
mengingatkan manusia terhadap Kehadiran dan Kemahakuasaan
Allah Swt., selain juga harus memberi manfaat bagi
kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.

Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara
yang maknanya bermuara kepada "kemampuan meraih --dengan mudah
dan sebanyak yang dibutuhkan-- segala sesuatu yang dapat
dimanfaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidang
teknik".

Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harfiahnya
menundukkan atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam raya
dengan segala manfaat yang dapat diraih darinya harus tunduk
dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah
manusia. Bukankah manusia diciptakcan oleh Allah sebagai
khalifah? Tidaklah wajar seorang khalifah tunduk dan
merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah
kepadanya. Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam.
maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah Swt.

Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam
raya bersama potensi yang dimiliki manusia --bila digunakan
secara baik-- akan membuahkan teknologi.

Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus
mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan
bahwa manusia adalah khalifah yang kepadanya tunduk segala
yang berada di alam raya ini.

Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkret
teknologi, dapat dikatakan bahwa pada mulanya teknologi
merupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusia
menciptakan pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadi
perpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada
si Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudian
teknologi berkembang, dengan memadukan sekian banyak alat
sehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya,
semuanya berkembang, khususnya ketika mesin tidak lagi
menggunakan sumber energi manusia atau binatang, melainkan
air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya,
adalah mesin. Kini, pesawat udara tidak lagi menjadi
Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaan
organ dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang
memungkinkannya mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, ia
bagaikan memiliki sayap. Alat atau mesin tidak lagi menjadi
budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.

Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih.
Mesin-mesin tersebut melalui daya akal manusia
--digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakin
kompleks, serta tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang.
Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu mesti
dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah
menjadi semacam "seteru" manusia, atau lawan yang harus
disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia.

Dewasa ini telah lahir teknologi --khususnya di bidang
rekayasa genetika-- yang dikhawatirkan dapat menjadikan alat
sebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal
"majikan" yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika
begitu, ini jelas bertentangan dengan kedua catatan yang
disebutkan di terdahulu.

Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapat
menerima hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dan
tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur "debu tanah"
manusia maupun unsur "ruh Ilahi" manusia.

Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan
seseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada
keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan
hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus
memperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakan
teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat
mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan,
sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu,
menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai
cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi,
dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana
mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan
nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan
pikir dan zikir, ilmu dan iman?

***

Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya
meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa,
Rasul Allah Muhammad Saw. pun diperintahkan agar berusaha dan
berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni
'ilma (Berdoalah [hai Muhammad], "Wahai Tuhanku, tambahlah
untukmu ilmu") (QS Thaha [20]: 114), karena fauqa kullu zi
'ilm (in) 'alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yang
amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).

Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan.
Rasulullah Saw. bersabda:

Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan
menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.

Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan
teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan
kepadanya. Karena itu, laju teknologi memang tidak dapat
dibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri
agar tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta
dan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan dinnya. Agar ia
tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya
sendiri karena kepandaiannya.

Al-Quran menegaskan:

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah
seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu
tumbuhlah dengan suburnya --karena air itu--
tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu
telah sempurna keindahannya dan memakai (pula)
perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga
bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala
sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di
waktu malam atau siang, maka kami jadikan
(tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang
sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh
kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS
Yunus [10]: 24).[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Tidak ada komentar: