Minggu, 23 Januari 2011

Perilaku Akhlaq Terpuji: Tawadhu

Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penya-
yang itu (ialah) orang yang berjalan di atas bumi
dengan RENDAH HATI dan apabila orang-orang yang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan ” (Al Furqaan: 63)

Tawadlu’, berendah hati adalah awal terbentuknya cinta
dan silaturrahim. Sikap ini muncul atas kesadaran diri,
betapa sebagai makhluk Allah, seorang Muslim terbatas dalam
banyak hal, termasuk juga ilmu pengetahuan. Allah lah Al Ilm,
Al Haq, sementara produk akal fikiran manusia hanyalah dzon,
dugaan, rekaan, hipotesis belaka. Allah lah sumber kebenaran,
sedang dari manusia datang kesalahan.

Maka dalam titik pandang ini adalah tidak pantas uzub,
sombong bagi seorang Muslim ketika berjalan di muka bumi ini.
Tak ada hujjah bagi seorang manusia untuk berlagak di hadapan
Allah. Karena dia hanyalah makhluk, hanya kreasi hasil cipta
Sang Khalik yang sarat dengan kelemahan, kealfaan dan keteri-
katan terhadap hawa nafsu. Dia hanyalah turunan Adam yang
tercipta dari tanah dan air. Sedang malaikat yang tercipta
dari nur sekalipun mensujudkan diri di hadapan Allah Rabbul
Izzati. Dia hanyalah makhluk yang hidup hanya karena rizki,
pertolongan Allah, dan kasih-sayangNya. Tanpa ini semua
manusia akan musnah dan binasa. Lalu pantaskah dia “mengang-
kat dada” di hadapan aturan, jalan hidup yang diturunkan Allah ?

Tawadlu’, akhlaq ini muncul dari kefahaman, bahwa sebagai
seorang Muslim, belumlah tentu ia lebih baik dari saudaranya
yang lain. Bisa jadi saudaranya yang lain malah lebih mulia di mata
Allah ketimbang dirinya. Karena Allah lah Hakim Agung Yang Maha
Tahu.

Akhlaq ini muncul dari proses panjang penyerapan ilmu
yang haq, pemahaman mendalam hakekat jalan hidup Rabbani dan
semangat yang terus merekah untuk membumikan nilai-nilai “langit”.
Dia muncul dari kematangan jiwa, tempaan tarbiyah, keuletan takwiniyah
(pembinaan), dan kemampuan penuh menundukkan ego dan hawa nafsu.

Maka, dalam semangat dien ini, tawadlu’ adalah pertanda
kefahaman akan hahekat dienullah dan bukan kebodohan, ia per-
tanda keluasan ilmu dan bukan kesempitan hawa nafsu, dia lam-
bang kedalaman aqidah dan bukan ketakutan kronis terhadap ke-
kuasaan. Maka tawadlu’ adalah buah manis keimanan. Yang demi-
kian manis sehingga bersamanya setiap Muslim merendahkan diri
terhadap aturan Allah, terikat dan mengikatkan diri pada jalan
hidup yang dituntunkan Allah kepadanya, di dalamnya pengakuan
betapa syamil dan kamilnya (sempurna dan terpadunya) al islam
diikrarkan, dalam tuntunannya amaliah dan harokah dipersembah-
kan. Karena seorang Muslim sejati memahami tawadlu’ bukanlah
sifat yang lemah, tetapi kemuliaan, sifat dari hamba-hamba
Allah yang baik, sifat dari hamba-hamba Allah pilihan.

Maka bila matahari keimanan bersinar dan tawadlu’ mewujud
dalam akhlaq islami, maka pancarannya adalah keterikatan hati
sesama muslim, saling mema’afkan atas kesalahan, rasa kasih-
sayang dan cinta. Bahkan sekalipun orang-orang jahil (bodoh)
menyapa mereka, mereka akan membalas sapaan itu dengan lemah-
lembut dan dengan ucapan-ucapan yang mengandung keselamatan.
Apabila orang-orang jahil mendebatnya maka mereka akan mendebat
dengan cara yang baik. Karena kejahilan hanya sirna dengan ke-
benaran, dan kebenaran makin bersinar dengan tawadlu’.

Inilah dienullah yang mengagumkan, yang memancarkan keren-
dahan hati penganutnya, yang memancarkan kasih-sayang dan izzah
(kebanggaan) . Agama yang lurus, agama yang diridhai Allah,
agama yang mengantarkan keselamatan dunia dan akhirat.

Hasbunallah wa ni’mal wakiil.

Tidak ada komentar: