Senin, 24 Januari 2011

Materi Mentoring SMA: SYAHADATKU ….. SYAHADATMU

Pendahuluan

Rasulullah SAW pernah pada suatu saat mengumpulkan kaum kerabatnya dari bani Quraisy di Bukit Shaffa. Ketika ditawarkan kepada mereka satu kalimat yang dengannya mereka akan menguasai dunia, mereka mengatakan, “Jangankan satu, sepuluhpun kami mau”. Namun ketika mereka diajak kepada kalimat syahadat, serta mereka menolak dan mencaci maki rasulullah SAW. Suatu ketika seorang sahabat mendakwahkan kalimat syahadat ini kepada sekelompok Arab Baduy, jawab mereka, “Ini adalah yang dibenci para raja”. Dan sebagian lagi menjawab, “Kalimat ini akan membuat para pengikutnya akan diusir dari kampung halamannya sendiri”. Kisah kabilah lain ketika diajak pada kalimat syahadat, mereka menjawab, “Kami telah mengikat perjanjian dengan kabilah bani Syaiban”. Dikutip dari kitab Thoriqud Dakwah, Sayid Qutbh.

Begitulah reaksi yang datang dari mereka yang diajak kembali kepada kalimat fitrah ini, Sebuah reaksi yang menunjukkan bahwa mereka faham dan mengerti betul hakikat dan konsekwensi apa yang tersurat dan tersirat dalam kalimat syahadat. Apa konsekwensi yang mereka dapatkan jika ingin menjadi barisan pendukung kalimat ini? Dari pemahaman inilah mereka mengambil keputusan menerima atau menolak. Menerima dengan sepenuh hati tanpa penawaran ataupun syarat tertentu.

Suatu kalimat yang sangat mulia dan agung yang disebutkan dalam Al Qur’an sebagai Kalimat Thayyibah adalah kalimat yang senantiasa akrab dengan lisan seorang muslim. Setiap saat melakukan shalat kita kembali menegaskan komitmen kita untuk taat kepada-Nya melalui kalimat ini. Dengan kalimat ini pulalah kita dapat membedakan antara seorang Abu Jahal yang lahir dan fasih berbahasa Arab menolak ajaran rasul dengan tetap bertahan sebagai sosok orang kafir. Sebaliknya adapula Hamzah, Khalid bin Walid, Abu Sofyan, hingga seorang Cat Steven, musisi Inggris yang setelah bersyahadat menjadi Yusuf Islam, atau seorang Margaret Marcus mantan yahudi menjadi Maryam Jameeleh setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Kalimat Thayyibah yang digambarkan dalam Al Qur’an yang tiada lain adalah kalimat syahadat. Sebuah kalimat yang memiliki nilai-nilai luhur dan keagungan yang tinggi yang tidak bisa disamakan dengan kalimat-kalimat yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT :

“…Dan Allah menjadikan Kalimat orang-orang kafir itu yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (At-taubah : 40)



Urgensi Syahadataian
Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa Syahadatain yang merupakan dua pernyataan, persaksian dan sumpah setia kita terhadap Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari, dipahami dan diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada tiga alasan utama yang menyebabkan syahadatain menjadi suatu hal yang penting untuk kita pelajari, yaitu :

1. Merupakan Gerbang Awal Pertanda Keislaman Seseorang

Seorang non muslim yang ingin masuk Islam, maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah mengucapkan “Dua Kalimat Syahadat” (Syahadataian). Karena Syahadataian merupakan suatu pernyataan dirinya terbebas dari segala penghambaan selain penghambaan kepada Allah SWT. Dan sekaligus merupakan pernyataan penyerahan dirinya kepada Allah SWT. Inilah kalimat yang akan membawa seorang kepada keselamatan (Islam) dan juga kepada kenikmatan abadi.

Dari Mu’adz berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang akhir katanya (ketika ajal menjemputnya) : “Laa Ilaaha illallah”, maka pasti dia masuk surga.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Namun Apabila seorang terlahir dari keluarga muslim, maka ia tidak perlu lagi bersyahadat, karena secara otomatis dia diakui sebagai seorang muslim (Al-Intisab). Islam memiliki prinsip bahwa; “Setiap bayi yang terlahir adalah dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua ibu-bapaknyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Adapun tahapan-tahapan pemurniaan nilai syahadat sebagai konsekuensi iman secara berurutan dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya ; yakni dengan “membenarkan di dalam hati (At tasdiqu bil qolbi), dinyatakan secara lisan (Al qoulu bil lisan), Dibuktikan dengan perbuatan (Al’amalu bil arkan)” (disarikan dari HR. Ibnu Hibban)

Apabila seseorang membenarkan di dalam hatinya, maka dia dikatakan memiliki nilai batin (Al qimatul bathunah). Artinya status keimanannya diakui oleh Allah SWT. Sebaliknya berapapun seseorang menyatakan keimanannya secara lisan dengan meneriakkannya kemudian mengerjakan semua amal mukmin, tetapi jika hatinya mendustai Allah dan Rasul-Nya maka tetap saja di hadapan Allah status keimannya tidak diakui. Ketiga tahapan di atas akan bertumpu pada keistiqomahan kita dalam menjalankan syariat Islam.

2. Merupakan inti / pokok ajaran Islam

Segala macam ibadah, akhlaq dan syariat Islam mengacu kepada kalimat ini. Ketika seorang muslim melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, pada hakikatnya ia sedang merealisasikan janji dan sumpahnya kepada Allah yang tertuang dalam kalimat ini.

Syahadatain melambangkan jiwa totalitas Islam, laksana nyawa yang merupakan nadi seluruh tubuh manusia. Seluruh anggota tubuh manusia tidak berfungsi sebagai manusia yang hidup jika nyawanya telah tiada. Begitu juga Laa Ilaaha Illallah Muhammadarrasuulullah, merupakan ruh setiap aspek ajaran Islam (Said Hawwa, Al Islam ; Syahadataian dan Fenomena Kekufuran).

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3) : 85)

3. Merupakan pembeda seorang muslim dan kafir

Kalimat Syahadat membedakan seorang muslim dengan seorang non muslim (kafir) dalam status maupun balasan yang akan diterimanya dari sisi Allah SWT. Allah akan membalas setiap amal seorang muslim dengan kenikmatan di dunia dan di akherat, sedangkan orang kafir mendapat kesempitan hidup di dunia dan siksaan di akherat.

“Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun …” (QS. An Nur (24) : 39)

“Dan Kami menghadap kepada apa yang mereka telah kerjakan dari amal perbuatan (baik), lalu Kami jadikan dia debu yang berterbangan” (QS. Al Furqan (23)



Pengertian Asy-hadu (Bersyahadat)

Kata asy-hadu mempunyai arti ‘saya bersaksi’. Kata ini merupakan suatu bentuk persaksian (syahadat) seorang muslim yang harus diwujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Syahadat mempunyai arti : pernyataan jiwa (Al-I’lanu), janji (al-wad’u), dan sumpah (al-qosamu).

Kata syahadat dalam tata bahsa Arab merupakan bentuk fi’il mudhori (bentuk sekarang dan masa yang akan datang) maka pernyataan, janji, sumpah seseorang yang telah bersyahadat tidak hanya berlaku pada saat diuacapkannya saja, tetapi juga untuk waktu selanjutnya. Ia berlaku mengikat sepanjang hayat, setiap d etiknya menuntuk pembuktian dari syahadat orang tersebut. Dengan melihat arti secara bahasa saja, kita sudah dapat merasakan betapa beratnya bobot perkataan ‘”Asy-hadu” yang diucapkan seseorang. Karena dia bukan hanya sekedar pernyataan, janji atau sumpah saja, melainkan ketiga-tiganya sekaligus.



Syahadat sebagai pernyataan (Al-I’lan)

Bukan sekedar pernyataan ‘ya’ atau ‘tidak’ saja yang menjadi permasalahan, tetapi konsekuensi di belakang pernyataan ya atau tidak-nyalah yang harus diperhitungkan karena harus ditanggung oleh orang yang membuat pernyataan. Ketika seseorang mengucapkan syahadat pada hakikatnya ia sedang mengumumkan proklamasi dirinya yang terbebas dari semua ikatan kecuali ikatan Allah. Sejak saat itu pula ia mengumumkan bahwa ia berbeda dengan yang lainnya. Segala atribut dan identitas yang ia sandang kini mencerminkan arti proklamasi yang dikumandangkannya. Firman Allah SWT :

“….Kalau meeka berpaling, katakanlah (kepadanya) : Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran (3) : 64)

Pengertian ini nyata terlihat pada diri Umar bin Khattab ketika memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Seluruh karakter jahiliyah yang selama ini menjadi trade mark-nya hilang berganti dengan warna Islam. Atau pada diri Mush’ab bin Umair ketika dengan lapang dada melepas semua atribut kemewahan dan kekuasaan jahiliyah yang menjadi haknya. Dan pada diri maryam Jameelah pada saat ia rela menempuh terjal dan cadasnya jalan kehidupan semata untuk membuktikan kemuslimahannya. Seperti itulah sepatutnya pribadi muslim memahami konsekuensi syahadataian yang telah diikrarkannya.

Syahadat sebagai janji (Al-Wad’u)

Seseorang yang bersyahadat sebenarnya ia tengah berjanji. Janji yang berlaku semenjak ruh masuk ke dalam jasad kita ketika masih di dalam rahim hingga hari kiamat kelak. Sebagaimana bunyi firman Allah:

”Dan ingatlah ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukanlkah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul (engkau Rabb kami) kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-esaan Allah).” (QS. Al A’raf (7) : 172)

Janji adalah hutang yang harus dibayar lunas, tunai tanpa bekas. Karena itu kehidupan seorang muslim sepenuhnya berada dalam aturan Allah SWT sebagai realisasi untuk membayar janjinya. Janji untuk menjadikan Allah sebagai Rabb dengan segala hak-Nya. Hak untuk ditaati, dipatuhi, dicintai dan diperhatikan kehendak serta kemauan-Nya. Itulah sebabnya mengapa Abu Jahal tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan karena dia tidak dapat mengucapkannya, tetapi karena dia tidak sanggup menanggung konsekuensi di balik pernyataan dua kalimat syahadat tersebut.

Syahadat sebagai Sumpah (Al-Qosamu)

Sebagaimana sifat sumpah, yang tidak diucapkan setiap saat, hanya digunakan pada keadaan darurat atau pada situasi tertentu yang diperlukan, sehingga harga sumpah itu mahal dan tidak diobral. Sumpah bisaanya digunakan untuk mengukuhkan atau membangun rasa percaya. Ada kalanya yang hendak dikukuhkan atau hendak dibangun adalah kepercayaan pihak lain atau ada kalanya kepercayaan itu sendiri. Sumpah lebih berat dari sekedar pernyataan atau janji. Karena disamping konsekuensi yang akan dihadapi disadari sepenuhnya, orang yang bersangkutan telah memilih sendiri konsekuensi yang konkrit sehingga tidak dapat menghindar lagi (QS. Al Munafiqun : 1-2). Karena menghindar atau mengingkari sumpah berarti menghindar atau mengingkari diri sendiri.



Makna Syahadatain
Berikut ini pembagian makna syahadat seperti yang diuraikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dalam buku Tiga Landasan Utama :

1. Kalimat Laa Ilaaha Illallah sebagai Syahadat Uluhiyah

Kata laa berfungsi sebagai nafii (yang menolak), sedangkan illaaha berfungsi sebagai munafii (yang ditolak). Lalu apakah makna dari ilah memiliki arti-arti yang berkaitan satu sama lain, seperti yang diuraikan oleh Said Hawwa, dalam Al-Islam : Syahadatain dan Fenomena Kekufuran (Jakarta, 1993) :

· Yang membuat perasaan tenang, seperti dalam kalimat alihtu ila fulanin (aku merasa tenang pada si Fulan).

· Yang sangat dicintai, seperti dalam kalimat aliha ila rojul (memfokuskan diri pada seseorang karena ia amat mencintainya).

· Yang dimintai pertolongan, seperti dalam kalimat aliha rojulu ya’lahu (seseorang memerlukan pertolongan dan menggantungkan dirinya terhadap sesuatu/seseorang dari kesulitan yang dihadapinya).

· Kita tidak dapat berpisah darinya, seperti dalam kalimat aliha fashlu bi ammihi (gelisahnya anak unta yang mencari ibunya karena berpisah).

· Yang diibadahi.

Al-Ilah dalam bahasa Arab bisa berarti sesuatu yang paling dicintai sehingga kita rela mengorbankan apa saja untuk mendapatkan ridho-Nya. Bisa pula berarti sesuatu yang membuat kita tenang jika mengingatnya, atau sesuatu yang membuat kita gelisah jika jauh dari-Nya. Dan semua hal, baik materi maupun immateri, bisa menjadi ilah kita. Allah sendiri telah menegaskan bahwa yang bisa menjadi ilah tidak hanya Dia semata, tetapi hawa nafsu pun bias menjadi ilah dengan memperturutkannya dan menjadikannya sumber pertimbangan bagi segala tindakan kita (QS. Al Jatsiyah (45) : 23 dan Al Furqan (25) : 43). Ada orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya, disamping ada pula yang membandingkan ilah-ilah itu dengan Allah SWT.

Mereka mencintai ilah selain Allah itu sama bahkan kadang kala melebihi cintanya kepada Allah (QS. Al Baqarah (2) : 165).

Sementara kata illa berfungsi sebagai al isbat (yang mengukuhkan). Kalimat Allah berfungsi sebagai almutsbit’ (yang dikukuhkan). Dengan demikian syahadat uluhiyah yang bunyinya Laa ilaaha illa Allah merupakan bentuk penolakan yang menghilangkan/menghancurkan seluruh bentuk ilah (penyembahan) yang diikuti dengan mengukuhkan Allah saja, sebagai satu-satunya ilah (yang haq). Hanya Allah tempat kita bergantung, sesuatu yang kita cintai, rindukan, dan diharapkan. (QS. Al Baqarah (2) : 255)

2. Kalimat Muhammadur Rasulullah Sebagai Syahadat Risalah

“Arti pernyataan Muhammadurrasulullah adalah mentaati apa yang diperhatikannya, membenarkan apa yang diucapkannya, menjauhi apa yang dilarang dan dicegahnya untuk diperbuat, dan menyembah Allah hanya dengan cara yang telah disyariatkan oleh sunnahnya (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)” (QS. Al A’raf (7) : 158, Al Ahzab (33) : 21, At-taubah(9) :128).

Sehingga tidak pantas bagi seorang muslim mencintai siapapun (manusia) melebihi kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah. Hal ini berarti kita sepatutnya menjadikan Muhaamd sebagai satu-satunya idola. Siapa saja yang mengidolakan tokoh di luar Rasulullah dan kemudian menjadi pengikutnya tidak akan mendatangkan kebaikan, malah menjerumuskannya pada kebinasaan. Pernah suatu saat ketika Umar berjalan berdua dengan Arsulullah dia berkata, “Ya Muhammad , aku mencintai engkau seperti aku mencintai diriku sendiri”. Kemudian kata Rasulullah, “Engkau belum beriman, wahai Umar”. Umar kaget mendengar itu, kemudian ia mengulanginya hingga 2 kali dan Rasulullah tetap memberi jawaban yang serupa. Kemudian Rasulullah berkata, “belum beriman seseorang sebelum dia mencintai Rasulnya lebih dari mencintai dirinya sendiri”. Dengan serta Umar pun menyambut ucapan Rasulullah, “Ya Muhammad Rasulullah aku mencintai engkau lebih dari aku mencintai diriku sendiri”. Nampak sekali umar begitu gembira mengungkapkan rasa pengidolaan dan kecintaannya pada rasul waktu itu. (QS. Ali Imran (3 ): 31).





Daftar Pustaka :

1. Muhammad Abdul Wahab. Al usul Al Tsalaatsah, Tiga Lanadsan Utama. Gema Insani Press. Jakarta : 1987.

2. Hawwa, Said. Al Islam ; Syahadatain dan Fenomena Kekufuran, Al Hamid Ishlahy Press. Solo : 1993.

3. Al ‘Utsaimin, As-Syaikh Muhammad bin Shaleh. Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

4. Nurul Fikri (BP), Syahadatmu dan Syahadatku.

Tidak ada komentar: